TA'WIL ISTAWA DALAM TAFSIR AN-NAFASI

https://daruratwahabi.blogspot.com/2017/01/ta-istawa-dalam-tafsir-nafasi.html

Dalam Tafsir an-Nasafi terbukti bahwa Salafi Wahabi adalah pendusta agama yang berdusta atas nama Al-Quran dan as-Sunnah, dan memfitnah para ulama Salaf atas nama Manhaj Salaf, mereka dalam bab Mutasyabihat mentafwidh kaifyat dan mentafsirkan dengan makna dhohir, mereka sangat anti dengan Ta’wil dan mengkafirkan aqidah Ta’wil, mereka sangan anti dengan Ta’wil Istawa dengan Istaula, sementara dakwaan mereka sebalik dengan hakikat Manhaj Salaf sesungguhnya, sebagai bukti mari buka Tafsir an-Nasafi, dan lihat apa kata Imam an-Nasafi sebagai berikut :

 { استوى } استولى . عن الزجاج ، ونبه بذكر العرش وهو أعظم المخلوقات على غيره . وقيل : لما كان الاستواء على العرش وهو سرير الملك مما يردف الملك جعلوه كناية عن الملك فقال استوى فلان على العرش أي ملك وإن لم يقعد على السرير ألبتة وهذا كقولك «يد فلان مبسوطة» أي جواد وإن لم يكن له يد رأساً ، والمذهب قول علي رضي الله عنه : الاستواء غير مجهول والتكييف غير معقول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة لأنه تعالى كان ولا مكان فهو على ما كان قبل خلق المكان لم يتغير عما كان .

Istawa artinya Istaula (menguasai) dihikayahkan dari Imam az-Zajjaj as-Salafi (241-311 H), dan memberitahu dengan penyebutan ‘Arasy atas lain nya, dan dia adalah sebesar-besar makhluk, dan dikatakan : manakala Istiwa’ atas ‘Arasy yaitu singgasana Raja adalah sebagian dari sesuatu yang berhubungan dengan milik, maka para ulama menjadikan Istiwa’ sebagai kinayah dari pada milik, maka dikatakan Istawa fulan atas ‘Arasy artinya memiliki nya, sekalipun ia tidak duduk atas singgasana sama sekali, demikian seperti perkataan “tangan si fulan luas” artinya pemurah sekalipun ia tidak punya tangan pada kenyataan nya. Dan pendapat kuat itu pernyataan Sayyidina Ali –radhiyallahu ‘anhu- : Istiwa’ tidak majhul, dan menguraikan kaifiyat nya tidak ma’qul, dan beriman dengan nya wajib, dan bertanya tentang nya Bid’ah, karena sesungguhnya Allah taala ada dan tidak ada tempat, maka Allah tetap sebagaimana sebelum menciptakan tempat, Allah tidak berubah sebagaimana ada-Nya”.

Maksudnya : Imam an-Nasafi merujuk ke Tafsir Imam az-Zajjaj as-Salafi, dalam Tafsirnya az-Zajjaj menta’wil Istawa dengan Istaula, inilah bukti bahwa Ta’wil juga berasal dari Manhaj Salaf, karena sebagian ulama Salaf melakukan Ta’wil pada sebagian ayat Mutasyabihat, Cuma kebanyakan ulama Salaf lebih memilih Tafwidh makna dan tidak mengkafirkan ulama yang bermanhaj Ta’wil, dua manhaj Ta’wil dan Tafwidh adalah metode agar tidak terjebak dengan Tasybih dalam makna dhohir nya, lain hal nya dengan Salafi Wahabi yang tidak melakukan Tafwidh seperti Tafwidh nya Salaf, dan juga mengkafirkan orang yang bermanhaj Ta’wil, dan mereka justru mentafsirkan nya dengan makna dhohir yang terdapat Tasybih dan Tajsim pada nya.

 ونبه بذكر العرش وهو أعظم المخلوقات على غيره

“dan memberitahu dengan penyebutan ‘Arasy atas lain nya, dan dia adalah sebesar-besar makhluk”.

Maksudnya : kenapa disebutkan ‘Arasy bila Istawa bermakna Istaula, padahal Allah menguasai semua makhluk-Nya, bukan hanya ‘Arasy, maka jawabnya dengan penyebutan ‘Arasy maka termasuklah semua makhluk lain, karena ‘Arasy adalah makhluk yang paling besar.

وقيل : لما كان الاستواء على العرش وهو سرير الملك مما يردف الملك جعلوه كناية عن الملك

 “dan dikatakan : manakala Istiwa’ atas ‘Arasy yaitu singgasana Raja adalah sebagian dari sesuatu yang berhubungan dengan milik, maka para ulama menjadikan Istiwa’ sebagai kinayah dari pada milik”.


Maksudnya : Sebagian ulama mentafsirkan Istawa dengan makna memiliki, karena punya hubungan antara makna Istiwa’ dan makna milik, karena tertegah memaknai nya dengan makna dhohir Istawa, maka kata Istawa adalah kinayah dari memiliki.

فقال استوى فلان على العرش أي ملك وإن لم يقعد على السرير ألبتة وهذا كقولك «يد فلان مبسوطة» أي جواد وإن لم يكن له يد رأساً

“maka dikatakan Istawa fulan atas ‘Arasy artinya memiliki nya, sekalipun ia tidak duduk atas singgasana sama sekali, demikian seperti perkataan “tangan si fulan luas” artinya pemurah sekalipun ia tidak punya tangan pada kenyataan nya”.

Maksudnya : ketika dikatakan bahwa “si fulan bersemayam /beristiwa’ atas singgasana, maka artinya si fulan memiliki singgasana tersebut walaupun ia tidak berada /bersemayam di atas nya, demikian juga seperti dikatakan “Tangan si fulan luas” maka artinya si fulan adalah seorang yang pemurah, sekalipun ia tidak punya tangan sama sekali, karena kata tangan adalah kiasan dari pemurah, sebagaimana Istawa adalah kiasan dari memiliki.

والمذهب قول علي رضي الله عنه : الاستواء غير مجهول

“Dan pendapat kuat itu pernyataan Sayyidina Ali –radhiyallahu ‘anhu- : Istiwa’ tidak majhul”.

Maksudnya : Pendapat kuat dalam masalah makna ayat Mutasyabihat adalah sebagaimana Manhaj kebanyakan ulama Salaf yaitu pernyataan Sayyidina Ali –Radhiyallahu ‘anhu- bahwa Istawa tidak majhul artinya telah dimaklumi kata Istawa dari Al-Quran dan dimaklumi makna dhohirnya, tapi tidak dimaklumi makna maksud darinya. 

Dapatlah diketahui bahwa tentang masalah makna nash Mutasyabihat adalah masalah khilafiyah, ketika makna dhohirnya tidak boleh dinisbahkan kepada Allah, maka boleh memaknainya dengan makna apa saja yang layak dengan keagungan dan kesempurnaan Allah, sehingga lahirlah bermacam ta’wil dengan makna yang layak dengan Allah, sementara kebanyakan ulama Salaf lebih memilih tidak menentukan satu makna tertentu untuk kata tersebut, karena apapun makna yang dipakai, semua makna itu tidak akan mampu mewakili kata yang telah dipilih oleh Allah untuk diri-Nya.

والتكييف غير معقول

“menguraikan kaifiyat nya tidak ma’qul”.

Maksudnya : berbicara tentang kaifiyat nya adalah tidak masuk akal (mustahil), bagaimana pun mengurai kaifiyat nya, namun yakinlah bahwa Allah tidak seperti demikian.

والإيمان به واجب

“dan beriman dengan nya wajib”.

Maksudnya : Wajib beriman dengan kata Istawa karena jelas penyebutan nya dalam Al-Quran, bukan beriman dengan makna dhohir, sementara beriman dengan makna dhohir adalah tidak boleh karena terdapat Tasybih padanya, maka mengingkari makna dhohir tidak menjadi kafir karena nya, tapi kafir bila ingkar kata Istawa, maka termasuk dalam orang yang beriman di sini adalah orang yang bermanhaj Ta’wil.

والسؤال عنه بدعة

“dan bertanya tentang nya Bid’ah”.

Maksudnya : Bertanya tentang Istawa Bid’ah dan bahkan membicarakan dan menguraikan ini adalah Bid’ah, tapi mudah-mudahan ini Bid’ah hasanah, karena para ulama telah menguraikan nya, selama tidak membicarakan kaifiyat nya.

لأنه تعالى كان ولا مكان

“karena sesungguhnya Allah taala ada dan tidak ada tempat”.

Maksudnya : Ini poin penting, apa hubungan nya dengan Istawa, seandainya makna dhohir Istawa yaitu bersemayam itu layak dengan keagungan dan kesempurnaan Allah, maka tidak ada hubungan Istawa dengan pernyataan Sayyidina Ali ini, tapi Sayyidina Ali mengatakan Allah telah ada dan tidak ada tempat, artinya sebelum ada ‘Arasy Allah tidak bersifat dengan bertempat/bersemayam, maka setelah menciptakan ‘Arasy juga demikian, maka makna dhohir yang dipahami bahwa Allah bertempat atau bersemayam di atas ‘Arasy setelah menciptakan ‘Arasy adalah tidak layak dengan keagungan dan kesempurnaan Allah, karena terdapat Tasybih di dalam nya, inilah hubungan antara pernyataan ini dengan Istawa.

فهو على ما كان قبل خلق المكان لم يتغير عما كان

“maka Allah tetap sebagaimana sebelum menciptakan tempat, Allah tidak berubah sebagaimana ada-Nya”.

Maksudnya : Dzat Allah dan sifat-sifat Allah tidak berubah atau bertambah, sebagaimana Allah ada sebelum menciptakan apapun, begitu juga Allah setelah menciptakan makhluk-Nya dan selama nya, sementara Salafi Wahabi percaya dan sangat yakin bahwa Allah berubah dan bertambah sifat-Nya ketika menciptakan ‘Arasy dan langit. Na’uzubillah.
  


Kesimpulan dari Tafsir an-Nasafi adalah :

  1. Sepakat ulama Salaf tidak memahami nash Mutasyabihat dengan makna dhohir, dengan dua metode Tafwidh makna dan Ta’wil makna.
  2. Kebanyakan ulama Salaf memilih Tafwidh dan sebagian ulama Salaf memilih Ta’wil.
  3. Ta’wil Istawa dengan Istaula adalah Ta’wil dari Manhaj sebagian Salaf.
  4. Ulama Salaf tidak anti Ta’wil.
  5. Manhaj Salaf bukan mentafwidh kaifiyat, tapi mentafwidh makna maksud kepada Allah.
Wallohu A'lam.

Share Facebook
Share Twitter
Share Google+

TA'WIL ISTAWA DALAM TAFSIR AN-NAFASI



FOLLOW

2010 © Bahaya Ajaran Sesat Sekte Salafi Wahabi Khawarij Mujassimah Musyabbihah
About / Sitemap / Contact / Privacy / Disclaimer